
Kata Iman sudah umum terdengar di tengah para penganut agama apapun, baik Islam, Kristen, Hindu, Buddha, Tao, Kong Hu Chu. Umumnya mereka memaknakan kata iman, ialah percaya. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia percaya pada apapun yang pernah mereka alami langsung, atau pengalaman orang lain yang mereka percaya seperti pengalaman tokoh agama, ilmuwan, selebritis, atau orangtuanya, dsb. Dari mengalami terbitlah pengetahuan yang mereka beri nilai ”percaya”, baik itu buruk maupun baik, benar maupun salah, indah maupun jelek. Percaya bahwa buaya ialah binatang buas, kucing jinak, dsb. Percaya yang lahir dari pengalaman, konon disebut pengetahuan induktif
Konon sungai Mentaya banyak buaya nya, dan beberapa warga yang mandi di ceruk sungai dekat jembatan hilang disambar buaya. Maka warga pun tak ada yang berani lagi berenang disitu, walau mereka tak pernah mengalami disambar buaya. Mereka simpulkan jika sudah terjadi beberapa warga yang disambar buaya ditempat itu, lalu mereka coba-coba berenang di tempat itu pula, tentu alur logis nya mereka pun akan disambar. Percaya yang lahir dari kesimpulan logis konon disebut pengetahuan deduktif
Para nabi, rosul, orang-orang suci berkata bahwa Tuhan ada, malaikat ada, ruh para syuhada, para leluhur mulia tetap hidup walaupun dianggap telah mati, dapat dilihat, diajak bicara, bahkan masing mencampuri urusan keturunan nya, dsb. Maka wajarlah jika para orang suci itu percaya tentang semua hal tersebut. Mereka sampai pada percaya karena langsung mengalami melalui penginderaan mereka, baik penglihatan, pendengaran yang telah melampaui indera manusia awam pada umum nya. Karena manusia memang makhluk yang dilengkapi dengan piranti indera, yang tidak saja indera fisik, penglihatan fisik dengan telinga, penciuman fisik dengan hidung, dsb. melainkan juga jasad astral atau jasad jiwa. Manusia yang hidup jasad astral nya tentu ia tidak saja dapat melihat sebuah pohon besar, dengan hewan tupai, ulat, pukupu, tetapi penglihatan astral nya mampu melihat makhluk ciptaan Allah lain nya seperti jin, siluman, demit, dsb. bahkan mereka pun dapat berkomunikasi dengan mereka, saling bantu membantu sebagaimana raja atau nabi Sulaiman yang memiliki rakyat seluruh ciptaan Allah dari bangsa kasat mata hingga makhluk tak kasat mata tunduk dibawah perintah beliau. Selanjutnya karunia itu Allah wariskan kepada nabi Muhammad Saw.
Konon Tuhan ingin dikenal didalam ciptaan Nya, dari mengenal terbitlah percaya. Maka begitulah orang-orang terdahulu di Nusantara, mengupaya mengenal Tuhan melalui Ciptaan Nya yang tidak dibatasi hanya pada dimensi material saja tetapi non-material, yang hanya dapat dilihat melalui mata hati, atau mata qolbu. Wajar jika mereka rajin ber-tirakat dalam lapar, prihatin, nrimo, ngalah dsb. dengan tujuan membersihkan qolbu nya. Qolbu ialah rumah Allah, bagaimana qolbu yang penuh syahwat, angkara murka, rasa kuasa sendiri, rasa benar, dsb. dapat mengenal Ciptaan Nya pada dimensi kehalusan? Saat ini umat beragama, hanya mengucap percaya, tetapi belum percaya. Percaya yang bersandar pada ikut-ikutan, atau dagelan saja, dagelan iman, iman dagelan, tentu kumat-kumatan, hari ini patuh pada Allah, besok dalam keadaan darurat ia mendosa, dst.
(Foto : Para ustadz, tokoh masyarakat, peserta kuliah intensive falsafah Bhinneka Tunggal Ika, angkatan I)
Be the first to comment