
Waktu tahun 1970 awal, usia saya sekitar 4 tahunan saat itu. Hampir setiap minggu warga heboh, karena ada saja orang yang kesurupan. Yang saat itu paling ngetrend di wilayah saya bermukim, Kebon Bawang, adalah kesurupan “setan gagu”. Ada yang kesurupan saat lagi buang air besar di kakus gantung, ada pula yang kesurupan saat sedang bermain diatas pohon api-api. Tahun 1970 an, warga di sekitar saya tinggal, masih buang hajat di WC ala kampung, terbuat dari kayu dan papan, dibangun melintang diatas kali, atau sungai kecil. Saya sendiri karena masih kecil, lebih senang di selokan ketimbang di WC kampung itu, karena seringkali terjadi anak kecil yang jatuh ke kali, dan saya sebagai anak kecil tentu merasa takut, toh selokan masih besar, air nya pun mengalir lancar, dan ada saja ikan-ikan yang keliatan melintas
Saat terjadi peristiwa kesurupan, hebohlah warga, berdesak-desakan baik didalam serta diluar rumah berkerumun, ingin tau apa yang terjadi. Saya pun kadang ikut-ikutan ingin tau, dan tentu saja berhimpit-himpitan dengan kaum ibu, atau nenek-nenek. Di tengah berdesakan itu, aroma sirih terasa kuat tercium, saat itu tradisi nyirih masih umum, tukang sirih pun masih laris, dan simbah saya pun berlangganan sirih keliling. Saat itu hampir semua rumah penduduk, berlantai tanah. Dan tidak heran jika lantai nya disana-sini terlihat bercak ludahan bekas nyirih. Oh ya saya biasanya mundur dari kerumunan jika sudah tercium aroma aneh. Saat itu orang kesurupan, biasa nya dijejelin terasi bahkan terkadang tai kotok, alias kotoran ayam
Kesadaran manusia memang terbit ditengah bentukan alam, begitulah ajaran filsafat Bhinneka Tunggal Ika menggagas
Setiap manusia mempunyai alam diri yang tidak serupa, begitupun alam luar diri nya. Semua alam tersebut sebagai kesatuan sama-sama mewadahi, atau sebagai pijak terbitnya kesadaran manusia. Setiap hari nya dari bangun tidur sampai pergi tidur kembali, kehidupan manusia berpijak alias bergantung kepada alam diri yang mewadahi nya. Alam itu tidak saja dibentuk oleh mineral, hewan, tumbuhan yang sifatnya nyata, tetapi juga dibentuk oleh unsur yang tidak nyata, dari enerji, getaran alam, hingga makhluk astral pun ikut mengkondisikan tubuh bentukan yang kita gunakan sebagai pijak kesadaran
Kadang kesadaran manusia, ibarat lampu, terlalu redup cahaya nya, ketimbang gelap sekelilingnya. Gelap yang dikondisikan oleh alam, termasuk oleh bangsa halus tak kasat mata. Saat gelap itu lebih mendominasi ditengah alam kesadaran nya, maka dengan mudah kesadaran itu di kudeta, diambil alih. Sehingga ibarat kendaraan, berganti supir. Maka begitulah kendaraan itu akhirnya bergerak tak seperti biasa nya, minta telor mentah, minta rokok lisong, dsb. Tubuh manusia memang milik alam, karena mereka lah yang menjadikan, melahirkan, mewujudkan nya buat manusia. Dan sejati nya manusia ialah kesadaran itu sendiri yang numpang pijak di tengah wahana yang mereka sama-sama bangun
Jika alam tengah murka, atau buaya sungai tengah mengganas memangsa manusia, dsb. mereka tidak merasa jahat, mereka merasa mengambil hak mereka sendiri yang ada dalam tubuh manusia tersebut. Itulah sebabnya, orangtua kita dulu sangat bertatakrama kepada alam, karena alam ialah manifestasi daripada para malaikat, dan malaikat ialah “Tangan Tuhan”. Ibaratnya jika dalam ajaran filsafat Bhinneka Tunggal Ika, alam ialah yoni, sang pemilik wilayah. Kesadaran manusia ialah pendatang, atau sang lingga yang harus tau diri, tau terimakasih kepada mereka dengan cara ikut menjaga, memelihara, membangun nya
Be the first to comment