Gue anak Priok !

Priuk .. priuk .. priuk !!

Untuk anda yang kebetulan tinggal di Jakarta Utara dan lahir sekitar tahun 60 atau 70 an, tentu saja sangat akrab dengan teriakan itu. Biasa nya setiap malam takbiran, sekitar tahun 1980 an, kaum muda pada patungan tuh, terus sewa truk buat diajak keliling-keliling malam takbiran di sekitar dalam kota Jakarta. Tahun 1980 an, saya masih usia belasan. Sebagai ketua remaja masjid Al Murtadho saat itu, tentu punya pasukan yang bisa diajak patungan, sewa truk, keliling malam takbiran. Dan setiap kali berpapasan dengan rombongan lain, semua yang diatas bak truk teriak “priuk !! .. priuk !! ..”. Kata itu maksud nya kami dari Tanjung Priok, salah satu kecamatan di Jakarta Utara, yang konon saat itu termasuk nya masih dianggap rawan tawuran, kejahatan, dsb. padahal tidak seperti itu kenyataan nya

Saya dilahirkan, menjalani masa kecil, remaja, pemuda, dewasa, sampai sekarang pun masih di Tanjung Priok. Dalam ajaran filsafat Bhinneka Tunggal Ika, termasuk nya saya adalah pribumi asli, karena saat dikandung, dilahirkan, masa kecil, remaja, pemuda, dewasa, hingga sekarang pun masih di wilayah yang sama. Walaupun nama asli saya “Teguh Handoko”, tetapi tolok ukur pribumi asli atau pendatang, atau sekedar penduduk musiman, bukanlah dari nama

Jasad yang membentuk diri saya, berasal dari mineral, air, udara, makanan hewani, nabati, dsb. yang semua nya tumbuh di tanah air Tanjung Priok tersebut. Karena nya adalah kewajiban saya sebagai pribumi asli Tanjung Priok ikut menjaga, memelihara, serta membangun, tidak saja alam natura nya, tetapi juga alam masyarakat nya, dan tentu saja saya berhak mengatakan diri saya sebagai warga Betawi. Betawi adalah suku kesatuan, yang bisa dijadikan contoh tauladan, bagaimana manunggalnya ke Bhinekaan itu

Dulu, waktu saya belum semuda seperti yang sekarang, suasana alam baik alam manusia maupun alam hunian nya masih lumayan adem udara nya. Apalagi jika ingat masa kecil, tahun 1970 an, belum ada listrik, tinggal di Tanjung Priok benar-benar seperti tinggal di kawasan surga. Saat itu baik jalan raya, jalan utama, jalan perkampungan, masih ibaratnya 90% tanah. Sekolah Dasar tidak ada yang berbaju seragam, bahkan banyak yang nyeker alias sekolah tanpa alas kaki. Tetapi saat di bangku sekolah dasar, saya tidak perlu repot, karena gedung sekolah ada di sebelah rumah. Kebetulan orangtua mendirikan sekolah dasar swasta, bernama SD Berdikari, sudah ada sejak tahun 1968. Lokasi nya di pertigaan jalan Bugis, kelurahan Kebon Bawang saat ini

Sebenarnya antara alam dan manusia itu ber lingga-yoni sebagai kesatuan. Artinya hati manusia, halus nya budhi, pemikiran, cara pandang, sikap, perbuatan manusia, semua nya mengimbas kepada keadaan alam, tidak saja alam mineral, tetapi juga udara, air, enerji, vibrasi alam. Sebuah lingkungan yang dihuni oleh manusia yang rukun, guyub, saling bergotong royong, tentu mengkondisikan lahirnya suasana alam yang nyaman vibrasi nya, udara nya, tanah nya, air nya, dsb. Begitupun wilayah yang dihuni oleh masyarakat yang semua nya merasa suci, manusia rasa tuhan – yang pada saling tidak mau rukun, akur dengan yang lain, imbasnya tentu pada keadaan alam yang tidak nyaman

Masa kecil tahun 1970 an di Tanjung Priok memang paling berkesan. Jika saya nanti ditempatkan di surga yang konon boleh minta apapun juga, mungkin saya cuma minta dikembalikan masa kecil itu lengkap dengan wahana nya, agar saya bisa kembali bermain air, ngebak di empang sampai kuping nya penuh lumpur, dan mata lele, mencari ikan lundu, sepat, betok, ikan mujair di selokan, bermain bledugan bambu setiap malam bulan Ramadhan, dsb.

 

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*