Roda kembali pada Awal

Membaca fenomena yang terjadi, baik di alam manusia maupun alam natura, baik di Indonesia maupun dunia, memang mempunyai banyak pijak pandang atau perspektif. Bisa dilihat dari perspektif bumi, artinya disitu kita mencoba memahami setiap fenomena melalui konteks nalar logis. Bagaimana setiap kejadian pasti terbit ditengah konteks kondisi serta sebab yang semua nya harus bisa dijelaskan secara logis melalui instrumen keilmuan yang bisa dipahami oleh manusia bumi, yaitu manusia yang menolak apapun kecuali yang terbit ditengah keumuman indra serta ilmu manusia

Fenomena alam yang mungkin sudah disepakati bersama ditengah negeri kita, bahwa gerak alam sudah banyak bergeser dari pakem kebiasaan yang dulu kita tau. Contohnya, bagi saya pribadi, di masa kecil disaat ada hujan, ya hujan serempak di seluruh kelurahan Kebon Bawang, mungkin kecamatan Tanjung Priok pun serempak hujan, tapi sekarang tidak, kadang cuma beda RW saja hujan nya. Tentu fenomena ini ditengah manusia bumi bisa dibela dengan alasan-alasan logis seperti karena pohon, tumbuhan, tanaman yang saat ini sudah menipis dibandingkan dulu, ditambah makin banyaknya pabrik, industri, dsb.

Dan manusia yang pijak nya pada langit, artinya tidak saja melihat pengkondisian serta sebab yang tersurat nyata, tetapi juga tersirat. Dimensi alam, tentu saja mempunyai ranah tersirat yang tidak mungkin indra manusia mengenalnya dengan mudah, seperti ranah enerji, baik enerji suara, panas, enerji elektromagnetis, gravitasi, terlebih lagi jika masuk pada ranah getaran atau vibrasi, frekwensi, dsb. Indra manusia sangat sederhana, dibandingkan dengan indra hewan. Karena manusia memang disandarkan bukan menjadi makhluk yang berpijak pada jasad fisika, tetapi jasad diseberang itu ialah jasad metafisika, dari jasad enerji, jasad vibrasi hingga jasad cahaya

Bagi saya sendiri, keadaan alam seperti ini, karena penghuni alam nya juga yang menyebabnya. Alam ialah wadah, atau yoni nya, manusia ialah lingga nya, dan kehidupan itu merupakan manifestasi dan representasi dari kedua nya atau lingga-yoni, yang skema nya menggunakan lambang bintang satkhona atau  bintang Daud. Tidak usah ragu, bintang Satkhona memang lambang dari ajaran falsafah Lingga-Yoni, karena nya bagi saya pribadi, bentuk Tugu Monas pun sebetulnya adalah bentuk bintang Satkhona

Isi dan wadah saling mengkondisikan, segala sesuatu berangkat dari cahaya kehendak, turun pada sifat, turun pada jiwa, turun pada fisika. Manusia yang berkelakuan vibrasi rendah, maka vibrasi nya akan mengkondisikan vibrasi rendah kepada alam lingkungan tempat ia tinggal, ibarat nya ikan yang air nya makin mengeruh, mengental, karena penghuni nya hanya sibuk buang kotoran saja, dari kotoran cita-cita, kotoran kehendak, kotoran pemikiran, cara pandang, kotoran sifat, sikap, perbuatan, serta karya kehidupan. Padahal seluruh jasad, atau alam diri yang dititipkan pada manusia adalah amanat dari Tuhan untuk mewakili Nya, memayu hayuning bawono, tetapi malah merusak

Sekarang roda zaman sudah kembali menuju awal, mau tidak mau, pastilah sampai kepada masa, dimana nanti sains pun mulai menyentuh ranah metafisika yang selama ini masih dianggap tabu, atau klenik, makhluk astral pun sekarang mulai bersuka cita, karena roda zaman sudah menuju kembali pada titik awal. Maka begitulah filsafat Lingga-Yoni atau Bhinneka Tunggal Ika, memang disusun untuk memfasilitasi generasi Nusantara masa datang, agar menemukan kembali ajaran leluhur nya yang sudah terkubur, agar bangkit kembali

(Foto : Kegiatan syiar ajaran falsafah Bhinneka di Ungaran)

Be the first to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published.


*